Skistosomiasis
No. ICPC-2 : D96 Worm/outer parasite No. ICD-10 :
B65.9 Skistosomiasis unspecified
B65.2 Schistomiasis due to S. japonicum
Kompetensi : 4A
Masalah Kesehatan
Skistosoma adalah salah satu penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh cacing trematoda dari genus schistosoma (blood fluke). Terdapat tiga spesies cacing trematoda utama yang menjadi penyebab skistosomiasis yaitu Schistosoma japonicum, Schistosoma haematobium dan Schistosoma mansoni. Spesies yang kurang dikenal yaitu Schistosoma mekongi dan Schistosoma intercalatum. Di Indonesia spesies yang paling sering ditemukan adalah Schistosoma japonicum khususnya di daerah lembah Napu dan sekitar danau Lindu di Sulawesi Tengah. Untuk menginfeksi manusia, Schistosoma memerlukan keong sebagai intermediate host. Penularan Schistosoma terjadi melalui serkaria yang berkembang dari host dan menembus kulit pasien dalam air. Skistosomiasis terjadi karena reaksi imunologis terhadap telur cacing yang terperangkap dalam jaringan. Prevalensi Schistosomiasis di lembah Napu dan danau Lindu berkisar 17% hingga 37%.
Subjective
Keluhan
Pada fase akut, pasien biasanya datang dengan keluhan demam, nyeri kepala, nyeri tungkai, urtikaria, bronkitis, nyeri abdominal. Biasanya terdapat riwayat terpapar dengan air misalnya danau atau sungai 4-8 minggu sebelumnya, yang kemudian berkembang menjadi ruam kemerahan (pruritic rash).
Pada fase kronis, keluhan pasien tergantung pada letak lesi misalnya:
Buang air kecil darah (hematuria), rasa tak nyaman hingga nyeri saat berkemih, disebabkan oleh urinary schistosomiasis biasanya disebabkan oleh S. hematobium.
Nyeri abdomen dan diare berdarah biasanya disebabkan oleh intestinal skistosomiasis, biasanya disebabkan oleh S. mansoni, S. Japonicum juga S. Mekongi.
Pembesaran perut, kuning pada kulit dan mata disebabkan oleh hepatosplenic skistosomiasis yang biasanya disebabkan oleh S. Japonicum.
Faktor risiko:
Orang-orang yang tinggal atau datang berkunjung ke daerah endemik di sekitar lembah Napu dan Lindu, Sulawesi Tengah dan mempunyai kebiasaan terpajan dengan air, baik di sawah maupun danau di wilayah tersebut.
Objective
Pemeriksaan fisik
Pada skistosomiasis akut dapat ditemukan:
Limfadenopati
Hepatosplenomegaly
Gatal pada kulit
Demam
Urtikaria
Buang air besar berdarah (bloody stool)
Pada skistosomiasiskronik bisa ditemukan:
Hipertensi portal dengan distensi abdomen, hepatosplenomegaly
Gagal ginjal dengan anemia dan hipertensi
Gagal jantung dengan gagal jantung kanan
Intestinal polyposis
Ikterus
Pemeriksaan penunjang
Penemuan telur cacing pada spesimen tinja dan pada sedimen urin.
Assessment
Diagnosis klinis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisis dan juga penemuan telur cacing pada pemeriksaan tinja dan juga sedimen urin.
Komplikasi
Gagal ginjal
Gagal jantung
Plan
Penatalaksanaan
Pengobatan diberikan dengan dua tujuan yakni untuk menyembuhkan pasien atau meminimalkan morbiditas dan mengurangi penyebaran penyakit.
Prazikuantel adalah obat pilihan yang diberikan karena dapat membunuh semua spesies Schistosoma. Walaupun pemberian single terapi sudah bersifat kuratif, namun pengulangan setelah 2 sampai 4 minggu dapat meningkatkan efektifitas pengobatan. Pemberian prazikuantel dengan dosis sebagai berikut:
*S. mansoni, S. haematobium, S. intercalatum
40 mg/kgBB/hari oral, dibagi dua dosis
*S. japonicum, S. mekongi
60 mg/kgBB/hari oral, dibagi tiga dosis
Tabel 20.1. Dosis prazikuantel
Rencana tindak lanjut
Setelah 4 minggu dapat dilakukan pengulangan pengobatan.
Pada pasien dengan telur cacing positif dapat dilakukan pemeriksaan ulang setelah satu bulan untuk memantau keberhasilan pengobatan.
Konseling dan edukasi
Hindari berenang atau menyelam di danau atau sungai di daerah endemik skistosomiasis.
Minum air yang sudah dimasak untuk menghindari penularan lewat air yang terkontaminasi.
Kriteria rujukan
Pasien yang didiagnosis dengan skistosomiasis (kronis) disertai komplikasi.
Peralatan
Peralatan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan tinja dan sedimen urin (pada S.haematobium).
Prognosis
Pada skistosomiasis akut, prognosis adalah dubia ad bonam, sedangkan yang kronis, prognosis menjadi dubia ad malam.
Referensi
Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Centers for Disease Control and Prevention. Schistosomiasis. July 25, 2013. http://www.cdc.gov/parasites/schistosomiasis. (Center for Disease and Control, 2013)
World Health Organization. Schistosomiasis. July 25, 2013. http://www.who.int/topics/shcistosomiasis/end (World Health Organization, 2013)
Kayser, F.H., Bienz, K.A., Eckert, J., Zinkernagel, R.M. 2005. Schistosoma in Medical Microbiology. Germany. Thieme. Stutgart. (Kayser, et al., 2005)
Sudomo, M., Pretty, S. 2007. Pemberantasan Schistosomiasis di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. Vol. 35, No. 1. (Sudomo & Pretty, 2007)
King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s Tetxbook of Pediatrics. 19 ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1.
Last updated